Rangkuman Suhbah Mawlana Shaykh Nazim
15hb Disember 2009
Jangan menilai orang lain, nilailah dirimu sendiri
- Mawlana berkata bahwa pengetahuan surgawi mengajarkan manusia untuk MENGENAL TUHANNYA. Semua ciptaan, bahwa setiap bagian dari sebuah atom, mengenal siapa Tuhan mereka, dan mereka selalu mengingat Allah, mengagungkan-Nya, mengucapkan SubhanAllah, SubhanAllah… sepanjang waktu.
- Setiap ciptaan memberikan pujian-pujian dan pengagungan tertinggi pada Allah. Mawlana berkata bahwa setiap atom mabuk – dimabukkan dan dipenuhi oleh kekaguman akan Keagungan Allah, tidak seperti manusia, yang mabuk karena minuman beralkohol, obat-obat terlarang dan kesenangan duniawi. Setiap makhluk, bahkan semut, mengagungkan Allah. Bagaimana dengan kita manusia?!
- Ketika ditanyakan tentang masalah agama, kita TIDAK SEHARUSNYA memberikan OPINI kita. Kita tidak dihubungkan dengan inspirasi-inspirasi surgawi, kita seperti kabel-kabel yang tidak tersambungkan ke stop kontak. Jadi ‘fatwa’ kita, masukan kita, pemikiran kita, saran kita, atau opini kita bersumber dari ego kita. AwliyaAllah tidak pernah mengemukakan opini mereka; mereka menghubungkan hati mereka dengan Allah, dan mengajarkan apa yang dikirimkan pada mereka melalui inspirasi. Mawlana berkata bahwa beliau tidak tahu apa-apa, tetapi beliau membuka telinga dan mata hatinya agar dapat menerima ajaran-ajaran surgawi, karena ajaran-ajaran tersebut merupakan nur (cahaya) bagi orang-orang yang menerimanya. Hanya jika jawaban yang diberikan bersumber dari inspirasi-inspirasi surgawi, maka ajaran tersebut akan membawa kedamaian dan kepuasan di hati pendengarnya.
- Ada orang-orang yang mempertanyakan apakah hal ini mungkin. Mawlana berkata jika kita telah menyaksikan betapa menakjubkannya tekhnologi pada zaman ini, maka beliau bertanya, “Yang manakah yang lebih kompleks untuk diciptakan? Manusia atau alat-alat canggih produk tekhnologi? Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik, dengan derajat yang tertinggi; kita lebih mampu untuk berhubungan dengan sumber-sumber surgawi dibandingkan dengan alat-alat semacam itu.
- ‘Ulama Wahabi/Salafi selalu memberikan opini mereka; mereka sering mencap perbuatan umat muslim lain sebagai perbuatan yang BID’AH/SIRIK/KUFUR. Sebagai contoh, mereka mencap orang-orang yang banyak berzikir (mengingat Allah) melakukan hal yang bid’ah. Mawlana berkata bahwa mungkin, orang-orang yang disebut “ulama” ini akan mencap bahwa semua atom dan semut juga melakukan perbuatan yang bid’ah, karena makhluk-makhluk tersebut juga tak henti-hentinya mengagungkan Allah!
- Mawlana memperingatkan kita agar tidak menggunakan kata KAFIR/KUFUR dengan bebas untuk mencap orang lain. Kita tidak boleh menjadi seperti “ulama-ulama” ini, yang sering menggunakan kata-kata tersebut dengan bebasnya, tanpa mempertimbangkan untuk memohon maaf atau menghormati sesama muslim. Mawlana menyuruh kita untuk membuang jauh kata-kata ini, tidak menggunakannya, karena ini merupakan Penilaian bagi keimanan seseorang; kita tidak bisa mengetahui tingkatan iman seseorang.
- Mawlana menceritakan sebuah kisah tentang bagaimana seorang sahabat sedang berperang melawan seorang yang kafir. Ketika sahabat tersebut hendak membunuh musuhnya, orang kafir tersebut mengucapkan, “Assalamu’alaikum” kepada sahabat tersebut, yang kemudian tetap membunuhnya. Ketika sahabat tersebut menjumpai Rasulullah (saw) setelah peperangan tersebut, Rasulullah (saw) bertanya padanya mengapa dia tetap membunuh pria tersebut meskipun dia telah mengucapkan salam? Sahabat tersebut menjawab bahwa musuh tersebut memberi salam hanya agar ia tidak dibunuh, ia bukan orang yang benar-benar beriman. Mendengar hal ini Rasulullah (saw) membalas, “Apakah kamu membelah hatinya untuk melihat keimanannya, bahwa ia benar-benar seorang yang kafir?”
- Dengan kata lain, Rasulullah (saw) mengajarkan kita untuk TIDAK menilai orang lain, karena kita tidak bisa melihat rahasia-rahasia dari niat yang ada di hati mereka. Kita harus menerima apa yang nampak di hadapan kita dan tidak langsung menyimpulkan. Bahkan sebuah ucapan salam sesederhana Assalamu’alaikum oleh seorang yang kafir, menjadikannya seorang muslim di mata Rasulullah (saw). Jadi bagaimana mungkin para ‘ulama Wahabi/Salafi bias mencap semua muslim yang tidak sejalan dengan ideology mereka sebagai kafir?
- Kita tidak boleh sembarangan mencap orang sebagai kafir. Seorang kafir adalah orang yang secara terbuka menyatakan bahwa ia tidak percaya pada Allah. Siapa pun yang telah membaca syahadat, dan tidak dengan terbuka meninggalkan Islam, adalah seorang muslim. Kita jangan pernah menilai orang mengenai keimanan orang tersebut. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Allah adalah yang terbaik dalam memberi penilaian.”
- Kita harus ingat bahwa syaitan membimbing kita menuju ke neraka, dengan mengajarkan pada kita untuk sibuk menilai dan mencap orang lain. Mawlana berkata bahwa tidak satu pun dari kita memiliki Sertifikat Surgawi yang menjamin bahwa kita adalam muslim sejati, atau mukmin sejati, atau bahwa kita ditakdirkan untuk masuk surga. Daripada menilai orang lain, biarkan Allah yang menilai. Kita harus menjaga diri kita sendiri dan menyalahkan ego kita. Ketika kita semua dibangkitkan di Hari Pengadilan, kita semua akan sibuk dengan diri kita masing-masing, dan tidak satu pun dari kita akan mempedulikan kesalahan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidup ini, kita harus mengoreksi diri kita sendiri, dan biarkan Allah yang menilai diri kita dan orang lain, karena tidak satu pun dari kita akan pernah tahu niat dari perbuatan orang lain, dan setiap perbuatan dicatat berdasarkan niatnya.
- Mawlana berkata bahwa dalam sebuah hadis Qudsi, Allah berfirman bahwa bagi mukmin yang mencapai umur 90 tahun (seperti Mawlana sendiri), Allah akan mengampuninya, membebaskannya dari hisab, dan menyelamatkannya.
Fatihah.
You must be logged in to post a comment.