Rangkuman Suhbah Mawlana Shaykh Nazim
12hb Disember 2009
Bersikaplah rendah hati,
carilah orang-orang yang memiliki Ilmu Sejati
- Mawlana berkata bahwa manusia mencari keselamatan, kebahagiaan dan kehormatan di akhirat, tetapi mereka gagal bertanya mengenai bagaimana cara mendapatkan itu semua.
- Kita harus selalu mengucapkan A’udzu billahi min-as syaitan-ir rajiim dan Bismillah-ir Rahman-ir Rahiim, karena kalimat-kalimat ini adalah pedang spiritual kita dalam perjuangan melawan ego kita, melawan syaitan, dan melawan manusia yang merupakan antek-antek syaitan.
- Mesjid bukanlah bangunan biasa. Tempat itu khusus ditujukan untuk penyembahan, dimana banyak makhluk yang menyembah Allah di tempat tersebut sepanjang waktu.
- Tidaklah cukup hanya dengan mengetahui sesuatu. Kita membutuhkan KUNCI untuk membuka pemahaman dan rahasia-rahasia dari pengetahuan yang kita pelajari. Kita harus siap untuk mencari dari orang-orang yang telah mendapatkan kunci-kunci semacam itu dari Allah. Kita harus bersikap rendah hati untuk MEMINTA bantuan dan bimbingan.
- Pada zaman sekarang ini, banyak dari orang-orang yang dianggap ‘terpelajar’, yang bergelar PhD dan doctor, merasa bahwa mereka adalah sumber pengetahuan dan mereka adalah orang-orang yang mampu mengajarkan orang lain dan membuka rahasia-rahasia tersebut. Padahal orang-orang semacam itu hanya mempelajari ilmu semata-mata dari buku, dan mereka tidak memiliki kunci bagi rahasia-rahasia dan pemahaman dari ilmu tersebut. Gelar sarjana dalam ilmu Islam tidaklah menjamin bahwa orang tersebut benar-benar memahami Islam. Banyak orang yang telah mendapatkan gelar semacam ini merasa bahwa mereka tidak lagi perlu BERTANYA dan belajar, karena mereka merasa sudah cukup dan sempurna, dan bahkan mereka merasa bahwa diri mereka sendirilah yang merupakan sumber tuntunan bagi yang lain.
- Kita dianjurkan untuk tidak bertanya dari orang-orang semacam itu, yakni orang-orang yang bukan merupakan ahli yang ditunjuk oleh Allah. Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa kita harus menuntut ilmu dari orang-orang yang arif/khabir, seseorang yang ahli. Dan yang arif dalam masalah agama adalah para awliyaAllah, para wali, bukan sarjana akademik.
- Nabi Musa (as) telah diberikan pengetahuan surgawi, tetapi ia tidak mempunyai kunci untuk membuka rahasia-rahasia spiritual dan pemahaman yang tersembunyi dibalik pengetahuan tersebut. Ketika ia menanyakan hal itu pada Allah, Allah memerintahkan Nabi Musa (as) untuk mencari seorang hamba Allah yang merupakan pemegang pengetahuan macam itu. Hamba tersebut adalah Nabi Khidir (as). Bahkan para nabi dan rasul pun harus mencari pemegang kunci-kunci surgawi untuk membuka pemahaman-pemahaman tersebut, bagaimana dengan kita? Bisakah kita memahami hanya dengan membaca buku dan hanya dengan menggunakan akal kita? Tidak. Kita membutuhkan seorang pembimbing. Cerita tentang Nabi Musa (as) ketika mencari seorang pembimbing untuk memperdalam pemahamannya merupakan sebuah perintah Allah bagi kita untuk melakukan hal serupa.
- Nabi kita, Muhammad (saw), dikaruniai pemahaman tentang Pengetahuan Ilahi, dan setelah beliau, para pembimbing sejati juga diberikan pengetahuan tersebut. Rasulullah (saw) tidak belajar dari buku-buku, beliau diajarkan oleh Allah (swt), karena Allah berkehendak untuk memberikan pengetahuan tersebut pada Nabi Muhammad (saw).
- Pada suatu ketika, seorang guru tafsir Al-Qur’an yang terkenal di seluruh dunia, Imam Razi, datang ke Mekah untuk memberikan ceramah mengenai Islam. Ribuan muslim berkumpul, mereka berdiri untuk menyambut beliau, dan mereka menyanjungkan, “Imam-ul Razi” ketika mereka berkumpul mengelilingi beliau untuk memperoleh pemahaman dari cahaya spiritual beliau.
- Ketika Imam Razi duduk di depan Ka’bah, beliau melihat (dengan sudut matanya) seorang pria yang tidak berdiri menghormatinya. Orang tersebut duduk menghadap Ka’bah, dengan sebuah tudung menutupi kepalanya. “Mengapa ia tidak berdiri menghormatiku dan menghormati pengetahuan yang aku bawa?” bisik hati Imam Razi.
- Kemudian Imam Razi memulai khutbahnya. Beliau keheranan karena beliau tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Kerumunan orang terus menunggu dengan penuh harap, dan Imam Razi yang sedang duduk di kursinya yang terhormat, di depan Ka’bah, tidak dapat berbicara. Beliau tahu bahwa hal itu pasti ada hubungannya dengan pria misterius yang tidak berdiri menghormatinya.
- Imam Razi menghampiri pria misterius tersebut, mencium tangannya, dan meminta maaf darinya, “Dengan kehormatan dari Baitullah, aku memintamu untuk memaafkanku.” Barulah setelah beliau meminta maaf, pria misterius itu – yang ternyata adalah Nabi Khidir (as) – mengizinkannya untuk berbicara, dan barulah beliau dapat berbicara.
- Mawlana berkata bahwa pengetahuan Imam Razi yang sangat luas adalah bagaikan setetes air jika dibandingkan dengan besarnya samudera ilmu Nabi Khidir (as). Dan apakah yang terjadi ketika setetes air masuk ke samudera? Setetes air tersebut akan larut di dalamnya dan kemudian menghilang. Itulah sebabnya mengapa Imam Razi tidak dapat berbicara; pengetahuannya, meskipun sangat luas, hanyalah bagaikan setitik noda jika dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang hamba Allah yang memegang kunci-kunci ilmu sejati.
- Jadi, bagaimana dengan pengetahuan kita? Apakah kita mengira bahwa kita memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas dan dalam? Janganlah merasa bangga! Belajarlah untuk merendahkan diri kita, akui kerendahan kita di hadapan Allah, dan mohonlah pada-Nya dengan berdoa, “Rabbi zidni ‘ilma” yang artinya, “Ya Tuhanku, tambahkanlah pengetahuanku!”
- Jangan menilai bahwa kita telah memiliki cukup ilmu. Bersikaplah rendah hati untuk meminta ilmu sejati dari Allah. Orang-orang penting selalu mengira bahwa diri mereka telah sempurna dan berilmu. Janganlah berusaha untuk menjadi penting di mata orang lain, karena selama kita ingin menjadi penting, kita termasuk salah seorang yang tidak memiliki pengetahuan sejati, karena kita mencari sesuatu yang tidak ada gunanya bagi diri kita.
- Jika kita tidak memiliki pengetahuan sejati, maka apa yang kita miliki adalah pengetahuan palsu, yang akan menelanjangi kita pada Hari Pengadilan nanti; kita akan menjadi seperti sebuah pohon, tanpa daun, bunga, dan buahnya.
- Tetapi jika kita mewarisi ilmu sejati, dengan segala rahasia dan pemahamannya, ilmu ini akan terus menyertai kita, dan akan bermanfaat bagi kita selama-lamanya.
Al-Fatiha